Rabu, 11 Juni 2014

Perlindungan Konsumen

ASPEK HUKUM DALAM PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Oleh Kolonel CHK Kusbandi., SH., M. Hum (Kakumdam V/Brawijaya)

Salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia, 1) baik materiel maupun spiritual yaitu dengan ketersedianya kebutuhan pokok; sandang (pakaian), pangan (makanan) dan papan (perumahan) yang layak. Negara dengan segenap perangkatnya berkewajiban menyelenggarakan tercapainya kehidupan rakyatnya dengan Iayak atau sejahtera lahir dan batin. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “tiap-tiap warna Negara berhak untuk memperoleh hidup yang Iayak bagi kemanusiaan”. Untuk memperoleh hidup yang layak bagi kemanusiaan itu dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kecerdasan, perlu penyediaan barang dan jasa dalam jumlah yang cukup, kualitas sesuai standar dengan harga yang terjangkau masyarakat sebagai pihak konsumen pada umumnya.
Kenyataan menunjukkan bahwa di Indonesia telah tumbuh dan berkembang banyak industri barang dan jasa, baik yang berskala besar, menengah maupun kecil, di satu pihak, laju pertumbuhan dan perkembangan industri barang dan jasa membawa dampak positif, antara lain tersedianya kebutuhan dalam jumlah yang mencukupi, mutunya Iebih baik serta adanya alternatif pilihan bagi konsumen.
1.      Lihat tujuan pembangunan Nasional sebagaimana tercantum di dalam UUD 1945 alinea keempat.
Akan tetapi, di lain pihak juga terdapat dampak negatif, yaitu dampak dan perkembangan teknologi, informasi dan informatika pada penyelahgunaan teknologi itu sendiri serta pelaku bisnis/pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab karena makin ketatnya persaingan, sehingga menjadi beban bagi masyarakat konsumen bahkan alam atau lingkungan yang tidak menguntungkan.
Ketatnya persaingan dapat mengubah perilaku kearah persaingan yang tidak sehat karena para pelaku usaha memiliki kepentingan yang saling berbenturan diantara mereka. Persaingan yang tidak sehat ini pada gilirannya dapat merugikan konsumen. Prasasto Sudjatmiko menegaskan (4) empat contoh yang mempengaruhi perilaku bisnis menjadi tidak sehat yaitu, Konglomerasi, Kartel/Trust, Insider Trading dan persaingan tidak sehat/curang. 2) Sekurang-kurangnya ada (4) empat bentuk perbuatan yang lahir sebagai akibat dan tidak sehatnya praktek bisnis seperti diatas, yaitu menaikkan harga, menurunkan harga, menurunkan mutu, dumping, memalsukan produk dan lain sebagainya.
Dengan pemahaman bahwa semua masyarakat adalah konsumen, maka melindungi konsumen berarti juga melindungi seluruh masyarakat. Oleh karena itu, sesuai dengan amanat Alinea IV Pembukaan UUD 1945, maka perlindungan konsumen menjadi penting dengan demikian sekurang-kurangnya ada (4) empat alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi, yaitu: 2 AdrianusMeliala, Praktik Bisnis Curang, Sinar Harapan, Jakarta, hal 140.
Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut Pembukaan UUD 1945, untuk menghindarkan konsumen dan dampak negatif penggunaan teknologi, sehingga dapat melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga keseimbangan pembangunan nasional dan guna menjamin sumber daya pembangunan yang bersumber dan masyarakat konsumen.

2.      Permasalahan.
Dengan timbulnya berbagai permasalahan dan hubungan antara pelaku usaha dengan warga masyarakat selaku konsumen, maka bagaimanakah aspek penlindungan hukum dalam pelaksanaan perlindungan konsumen yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

3.      Pembahasan.
Arus globalisasi dan perdagangan bebas karena kemajuan teknologi dan informasi telah mendorong ruang gerak arus transaksi barang/jasa melintasi wilayah negara (barang dan dalam negeri dan atau luar negeri) konsumen mempunyai kebebasan memilih, menggunakan kualitas barang/jasa sebagaimana yang diinginkan.
Fenomena tersebut dapat berakibat kepada pelaku usaha dan konsumen tidak porpasional/tidak seimbang, konsumen pada posisi lemah, bahkan menjadi objek aktifitas bisnis guna meraup keuntungan yang sebesar - besarnya dengan segala cara bahkan dengan cara-cara yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, misalnya: kiat-kiat dalam promosi, cara penjualan dan dengan tidak menerapkan perjanjian standar, dimana hal tersebut didasari atau tidak akan merugikan konsumen pada beberapa aspek. Adapun kelemahan-kelemahan konsumen adalah karena beberapa faktor antara lain : kesadaran akan haknya masih relatif rendah pendidikannya, sehingga undang-undang dijadikan sebagai landasan hukum bagi swadaya masyarakat untuk melakukan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Sebagai person atau kelompok dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen secara universal. Pada saat tertentu dalam posisi yang lemah dan tidak aman seorang konsumen dapat menjadi korban sebagai akibat baik dan unsur kelalaian atau bahkan kesengajaan dan pihak pelaku usaha untuk berkompetitif namun tidak sehat. Maka diperlukan suatu perangkat perlindungan hukum yang bersifat universal sehingga mendapatkan kedudukan hukum yang proporsional atau hak dan kewajibannya antara konsumen dengan pelaku usaha.

Beberapa aspek hukum yang etrkait dengan perlindungan konsumen antara lain:
a.      Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Ketetapan Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1931 tentang barang.
b.      Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene.
c.       Undang-undang Nomor 2 Tahun 1982 tentang Metrologi Legal.
d.      Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan.
e.      Undang-undang Nomor 5 Tahun 1982 tentang Perindustrian.
f.        Undang-undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan.
g.      Undang-undang Nomor 14 Tahun 1993 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
h.      Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian.
i.        Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
j.        Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan hidup.
k.       Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen.

3) Kebijakan perlindungan konsumen baik menyangkut hukum materiil dan hukum formil tentang penyelesaian sengketa konsumen.
3 Dr. Abdul Halim Barkatulah, S.Ag, SH, M.Hum, Hukum Perlindungan Konsumen kajian teoritis dan perkembangan pemikiran, Nusa Media, Bandung, hal 19-20.

    Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen terdiri dan 15 bab dan 65 Pasal, sesuai kerangka sebagai berikut:
Bab I           Ketentuan Umum (Pasal 1).
Bab II          Asas dan Tujuan (Pasal 2 dan 3).
Bab III         Hak dan Kewajiban (Pasal 4 s.d 7).
Bab IV         Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha (Pasal 8 s.d 17).
Bab V          Ketentuan pencantuman klausa baku (Pasal 18).
Bab VI         Tanggung jawab pelaku usaha (Pasal 19 s.d28).
Bab VII        Pembinaan dan Pengawasan (Pasal 29 dan 30).
Bab VIII       Badan Perlindungan Konsumen Nasional (Pasal 31 s.d 43).
Bab IX         Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (Pasal 44).
Bab X          Penyelesaian sengketa (Pasal 45 s.d 48).
Bab XI         Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Pasal 49 s.d 58).
Bab XII        Penyidikan (Pasal 59).
Bab XIII       Sanksi (Pasal 60 s.d 63).
Bab XIV       Ketentuan peralihan (Pasal 64).
Bab XV        Ketentuan penutup (Pasal 65)

Sumber: http://lpkjatim.blogspot.com/2009/12/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan.html#more

Kasus Sengketa Hak Cipta

JEPARA, Jaringnews.com - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara dinilai tidak konsisten dalam upaya penuntasan pelanggaran hak cipta ukiran khas Jepara berupa figura cermin(mirror frame) dan aksesoris lain bermotifkan ukiran khas Jepara. Pelanggaran tersebut dilakukan pengusaha asal Inggris, Christopher Guy Harrison, sejak tahun 2004 lalu.
Hal tersebut disampaikan Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Celcius, Didid Endro S di Jepara, Rabu (8/5). Kata dia, sejak tahun 2005, Pemkab Jepara tidak pernah memberikan dukungan secara konkret.
“Pada peringatan hari Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) sedunia tahun lalu, untuk mengirimkan surat permohonan pembatalan hak cipta milik Christopher Guy Harrison pada Kementerian Hukum dan HAM RI, baru saja dikirim bulan April kemarin. Ini membuktikan bahwa Pemkab benar-benar tidak peduli terhadap perlindungan dan pelestarian karya budayanya, mengirim surat saja kok sampai satu tahun," papar Didid kepada Jaringnews.com.
Lebih lanjut Didid menyampaikan, dokumen pendukung yang menunjukan adanya pelanggaran hak cipta akan ukiran khas Jepara yang dikirim Celcius kepada Pemkab Jepara dinyatakan hilang oleh pihak kabupaten. Padahal, dokumen yang sama dilayangkan sebanyak dua kali setelah yang pertama dinyatakan hilang.
“Ini bukan alasan yang pantas. Kantor sebegitu bagus dan mewahnya kok bisa kehilangan dokumen kan lucu,” imbuh Didid.
Dari hal tersebut, Celcius meminta kepada Pemkab untuk merealisasikan apa yang telah dijanjikan yakni menuntaskan kasus tersebut demi kepentingan masyarakat Jepara sebagai penyedia karya budaya mebel ukir.
Didid menambahkan, Pemkab Jepara harus benar-benar memahami substansi persoalan yang sedang terjadi, yaitu klaim atas hak cipta folklor Jepara. Sehingga  pembahasannya juga harus fokus pada hak ciptanya bukan pada hak merek, indikasi geografis (IG) ataupun yang lain.

“Meskipun semuanya termasuk dalam rezim HAKI, tetapi masing-masing memiliki Undang-undang (UU) yang berbeda. Sehingga, hak cipta tidak bisa diselesaikan dengan IG atau yang lainnya,” pungkas Didid.