Senin, 11 Januari 2016

Asimetri Informasi

Teori Asimetri Informasi

Asimetri informasi  merupakan kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi (prepaper) dengan pihak pemegang saham dan stakeholder pada umumnya sebagai pengguna informasi (user).
Teori asimetri mengatakan bahwa pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan tidak mempunyai informasi yang sama mengenai prospek dan resiko perusahaan. Pihak tertentu mempunyai informasi yang lebih baik dibandingkan dengan pihak lainnya. Manajer biasanya mempunyai informasi yang lebih baik dibandingkan dengan pihak luar (investor) karena itu bisa dikatakan terjadi asimetri informasi antara manajer dengan infestor. Infestor, yang merasa mempunyai informasi yang lebih sedikit akan berusha menginterpretasikan perilaku manajer. Dengan kata lain, perilaku manajer termasuk dalam perilaku penentuan strktur modal.
Informasi yang lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu untuk melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk memaksimumkan utility bagi dirinya.
Sedangkan bagi pemilik modal dalam hal ini investor, akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada.
Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan.

Macam Asimetri Informasi
Menurut Scott (2000), ada dua macam asimetri informasi:
1.         Adverse Selection
Adverse selection adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak atau lebih yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha, atau transaksi usaha potensial memiliki informasi lebih atas pihak-pihak lain. Adverse selection terjadi karena beberapa orang seperti manajer perusahaan dan para pihak dalam (insiders) lainnya lebih mengetahui kondisi kini dan prospek ke depan suatu perusahaan daripada para investor luar.
Para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor pihak luar. Dan fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham.

2.         Moral Hazard
Moral hazard adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha atau transaksi usaha potensial dapat mengamati tindakan-tindakan mereka dalam penyelesaian transaksi-transaksi mereka sedangkan pihak-pihak lainnya tidak. Moral hazard dapat terjadi karena adanya pemisahan pemilikan dengan pengendalian yang merupakan karakteristik kebanyakan perusahaan besar.
Kegiatan yang dilakukan oleh manajer tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Sehingga manajer dapat melakukan tindakan di luar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.

Sumber:

Mamduh Hanafi. 2004.Manajemen Keuangan. Cetakan Pertama. Penerbit BPFE :Yogyakarta.

http://ilmuakuntansi.web.id/pengertian-asimetri-informasi

Manajemen Laba

Manajemen Laba

       Schipper dalam Widodo Lo (2005) mendefinisikan manajemen laba sebagai intervensi atau campur tangan dengan maksud tertentu terhadap proses penyusunan pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan pribadi. Definisi tersebut mengartikan bahwa manajemen laba merupakan perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitas mereka. Manajer melakukan manajemen laba dengan memilih metode atau kebijakan akuntansi tertentu untuk menaikkan laba atau menurunkan laba. Manajer dapat menaikkan laba dengan menggeser laba periode-periode yang akan datang ke periode kini dan manajer dapat menurunkan laba dengan menggeser laba periode kini ke periode-periode berikutnya.
Menurut Davidson, Stickney dan Weil dalam Sulistyanto (2008), manajemen laba merupakan proses untuk mengambil langkah tertentu yang disengaja dalam batas-batas prinsip akuntansi yang diterima umum untuk menghasilkan tingkat yang diinginkan dari laba yang dilaporkan.
National Association of Certified Fraud Examimers dalam Sulistyanto (2008), mendefinisikan manajemen laba sebagai kesalahan atau kelalaian yang disengaja dalam membuat laporan mengenai fakta material atau data akuntansi sehingga menyesatkan ketika semua informasi itu dipakai untuk membuat pertimbangan yang akhirnya akan menyebabkan orang yang membacanya akan mengganti atau mengubah pendapat atau keputusannya
Fisher dan Rosenzweig dalam Sulistyant (2008), menyebutkan bahwa manajemen laba adalah tindakan-tindakan manajer untuk menaikkan (menurunkan) laba periode berjalan dari sebuah perusahaan yang dikelolanya tanpa menyebabkan kenaikan (penurunan) keuntungan ekonomi perusahaan jangka panjang.
Lewitt dalam Sulistyanto (2008), menyatakan bahwa manajemen laba adalah fleksibilitas akuntansi untuk menyetarafkan diri dengan inovasi bisnis. Penyalahgunaan laba ketika publik memanfaatkan hasilnya. Penipuan mengaburkan volatilitas keuangan sesungguhnya. Itu semua dilakukan untuk menutupi konsekuensi dari keputusan- keputusan manajer.

Model Empiris Manajemen Laba
Sulistyanto (2008) menyebutkan secara umum terdapat tiga kelompok model empiris manajemen laba yang diklasifikasikan atas dasar basis pengukuran yang digunakan yaitu model yang berbasis akrual agregat (aggregate accruals), akrual khusus (specific accruals) dan distribusi laba (distribution of earnings).

1.       Model berbasis akrual agregat (aggregate accruals)
Merupakan model yang digunakan untuk mendeteksi aktivitas rekayasa dengan menggunakan discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba. Model ini pertama kali dikembangkan oleh Healy, DeAngelo dan Jones. Selanjutnya Dechow, Sloan dan Sweeney mengembangkan model Jones menjadi model yang dimodifikasi (modified Jones Model). Model ini menggunakan total akrual dan model regresi untuk menghitung akrual yang diharapkan (expected accruals)  dan akrual yang tidak diharapkan (unexpected accruals).
Model Jones menggunakan sisa regresi total akrual dari perubahan penjualan dan property, plant and equipment sebagai proksi manajemen laba.. Model Healy merupakan model yang relatif sederhana karena menggunakan total akrual (total accruals) sebagai proksi manajemen laba. Total akrual disini merupakan penjumlahan discretionary accruals dan nondiscretionary accruals. Discretionary accruals merupakan komponen akrual yang dapat diatur dan direkayasa sesuai dengan kebijakan (discretion) manajerial, sementara undiscretionary accruals merupakan komponen akrual yang tidak dapat diatur dan direkayasa sesuai dengan kebijakan manajer perusahaan.
Model Angelo dikembangkan dengan menggunakan perubahan dalam total akrual (change in total accruals) sebagai proksi manajemen laba. Model Jones dimodifikasi (Modified Jones Model) menggunakan sisa regresi total akrual dari perubahan penjualan dan property, plant and equipment, dimana pendapatan disesuaikan dengan perubahan piutang yang terjadi pada periode bersangkutan.

2.       Model akrual khusus (specific accruals)
Yaitu pendekatan yang menghitung akrual sebagai proksi manajemen laba dengan menggunakan item atau komponen laporan keuangan tertentu dari industri tertentu. Misalnya piutang tak tertagih dari sektor industri tertentu atau cadangan kerugian piutang dari industri asuransi.
Model ini dikembangkan oleh McNichols dan Wilson, Petroni, Beaver dan Engel, Beaver dan McNichols. McNichols dan Wilson mengembangka model yang menggunakan sisa provisi untuk piutang tak tertagih, yang diestimasi sebagai sisa regresi provisi untuk piutang tak tertagih pada saldo awal, serta penghapusan piutang periode berjalan dan periode yang akan datang sebagai proksi manajemen laba. Petroni menggunakan klaim terhadap estimasi cadanga kesalahan yang diukur selama lima tahun perkembangan cadangan kerugian penjaminan kerusakan property sebagai proksi manajemen laba.
Model Beaver dan Engel menggunakan biaya yang tersisa dari kerugian pinjaman, yang diestimasi sebagai sisa regresi biaya dari kerugian pinjaman pada charge-of  bersih, pinjaman yang beredar, aktiva yang tidak bermanfaat dan melebihi satu tahun perubahan aktiva tidak bermanfaat sebagai proksi manajemen laba.
Sementara Beneish mengembangkan model yang menggunakan hari-hari dalam indeks piutang, indeks laba kotor (gross margin), indeks kualitas aktiva, indeks depresiasi, indeks biaya administrasi umum dan penjualan, indeks total akrual terhadap total aktiva sebagai proksi manajemen laba. Model  Beaver dan McNichols menggunakan korelasi serial dari satu tahun perkembangan cadangan kerugian penjaminan kerusakan property sebagai proksi manajemen laba.

3.       Model distribusi laba (distribution of earnings).
Pendekatan ini dikembangkan dengan melakukan pengujian secara statistik terhadap komponen-komponen laba untuk mendeteksi faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan laba. Model ini terfokus pada pergerakan laba disekitar benchmack yang dipakai, misalkan laba kuartal sebelumnya. Untuk menguji apakah incidence jumlah yang berada di atas maupun di bawah bencmark telah didistribusikan secara merata atau merefleksikan ketidak berlanjutan kewajiban untuk menjalankan kebijakan yang telah dibuat.
Model ini dikembangkan oleh Burgtahler dan Dichev, Degeorge, Patel dan Zeckhauser serta Myers dan Skinners. Model Burgtahler dan Dichev merupakan model yang menguji apakah frekuensi realisasi laba tahunan yang merupakan bagian atas (bawah) laba yang besarnya nol dan laba akhir tahun adalah lebih besar (kecil) daripada yang diharapkan untuk mendeteksi manajemen laba.
Degeorge, Patel dan Zeckhauser mengembangkan model yang menguji apakah frekuensi realisasi laba kuartalan yang merupakan bagian atas (bawah) laba yang besarnya nol, laba akhir kuartal dan forecast investor adalah lebih besar (kecil) daripada yang diharapkan untuk mendeteksi manajeman laba.
Model Myers dan Skinners merupakan model yang menguji apakah angka-angka laba meningkat yang berurutan adalah lebih besar dibandingkan angka-angka jika tanpa manajemen laba untuk mendeteksi manajemen laba.

Sumber:
Sulistyanto, Sri. 2008. Manajemen Laba, Teori dan Model Empiris. PT. Grasindo. Jakarta.

Widodo Lo, Eko. 2005. Penjelasan Teori Prospek Terhadap Manajemen Laba.  Jurnal Akuntansi dan Manajemen. Vol. XVI. No. 1. April. STIE YKPN. Yogyakarta.

GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)

GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)

Definisi Good Corporate Governance (GCG)
Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur, manajer, pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.
Sementara itu, ADB (Asian Development Bank) menjelaskan bahwa GCG mengandung empat nilai utama yaitu: Accountability, Transparency, Predictability dan Participation. Pengertian lain datang dari Finance Committee on Corporate Governance Malaysia. Menurut lembaga tersebut GCG merupakan suatu proses serta struktur yang digunakan untuk mengarahkan sekaligus mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Adapun tujuan akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam jangka panjang tetapi tetap memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder lainnya.

Arti penting Good Corporate Governance (GCG)
GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Prinsip dasar yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pilar adalah:
Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan) adalah suatu subjek yang memiliki banyak aspek. Salah satu topik utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut masalah akuntabilitas dan tanggung jawab/ mandat, khususnya implementasi pedoman dan mekanisme untuk memastikan perilaku yang baik dan melindungi kepentingan pemegang saham. Fokus utama lain adalah efisiensi ekonomi yang menyatakan bahwa sistem tata kelola perusahaan harus ditujukan untuk mengoptimalisasi hasil ekonomi,  dengan penekanan kuat pada kesejahteraan para pemegang saham. Ada pula sisi lain yang merupakan subjek dari tata kelola perusahaan, seperti sudut pandang pemangku kepentingan, yang menunjuk perhatian dan akuntabilitas lebih terhadap pihak-pihak lain selain pemegang saham, misalnya karyawan atau lingkungan.
Konsep Good Corporate Governance (GCG) adalah konsep yang sudah saatnya diimplementasikan dalam perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia, karena melalui konsep yang menyangkut struktur perseroan, yang terdiri dari unsur-unsur RUPS, direksi dan komisaris dapat terjalin hubungan dan mekanisme kerja, pembagian tugas, kewenangan dan tanggung jawab yang harmonis, baik secara intern maupun ekstern dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan demi kepentingan shareholders dan stakeholders.

Prinsip-prinsip dalam  Good Corporate Governance (GCG)
Dalam Undang-undang No 40 Tahun 2007 prinsip-prinsip Good Corporate Governance harus mencerminkan pada hal-hal sebagai berikut :
1.    Transparency (Keterbukaan Informasi)
Yaitu keterbukaan yang diwajibkan oleh Undang-undang seperti misalnya mengumukan pendirin PT dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia ataupun Surat Kabar. Serta keterbukaan yang dilakukan oleh perusahaan menyangkut masalah keterbukaan informasi ataupun dalam hal penerapan management keterbukaan, informasi kepemilikan Perseroan yang akurat, jelas dan tepat waktu  baik kepada share holders maupun stakeholder.
Ada banyak manfaat yang bisa dipetik dari penerapan prinsip ini. Salah satunya, stakeholder dapat mengetahui risiko yang mungkin terjadi dalam melakukan transaksi dengan perusahaan. Kemudian, karena adanya informasi kinerja perusahaan yang diungkap secara akurat, tepat waktu, jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan, maka dimungkinkan terjadinya efisiensi pasar. Selanjutnya, jika prinsip transparansi dilaksanakan dengan baik dan tepat, akan dimungkinkan terhindarnya benturan kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam manajemen.

2.    Accountability (Dapat Dipertanggungjawabkan)
3.    Responsibility (Pertanggungjawaban)
Adanya keterbukaan informasi dalam bidang financial dalam hal ini ada dua pengendalian yang dilakukan oleh direksi dan komisaris. Direksi menjalankan operasional perusahaan, sedangkan komisaris melakukan pengawasan terhadap jalannya perusahaan oleh Direksi, termasuk pengawasan keuangan. Sehingga sudah sepatutnya dalam suatu perseroan, Komisaris Independent  mutlak diperlukan kehadirannya. Sehingga adanya jaminan tersedianya mekanisme, peran dan tanggung jawab jajaran manajemen yang professional atas semua keputusan dan kebijakan yang diambil sehubungan dengan aktivitas operasional perseroan.
Pertanggungjawaban perusahaan adalah kesesuaian (patuh) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan yang berlaku di sini termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial, perlindungan lingkungan hidup, kesehatan/ keselamatan kerja, standar penggajian, dan persaingan yang sehat.

4.    Fairness (Kewajaran)
Secara sederhana kewajaran (fairness) bisa didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
Fairness juga mencakup adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem hukum dan penegakan peraturan untuk melindungi hak-hak investor – khususnya pemegang saham minoritas – dari berbagai bentuk kecurangan. Bentuk kecurangan ini bisa berupa insider trading (transaksi yang melibatkan informasi orang dalam), fraud (penipuan), dilusi saham (nilai perusahaan berkurang), KKN, atau keputusan-keputusan yang dapat merugikan seperti pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan, penerbitan saham baru, merger, akuisisi, atau pengambil-alihan perusahaan lain.
Fairness diharapkan membuat seluruh aset perusahaan dikelola secara baik dan prudent (hati-hati), sehingga muncul perlindungan kepentingan pemegang saham secara fair (jujur dan adil). Fairness juga diharapkan memberi perlindungan kepada perusahaan terhadap praktek korporasi yang merugikan seperti disebutkan di atas. Pendek kata, fairness menjadi jiwa untuk memonitor dan menjamin perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.
Prinsip GCG yang paling relevan dengan pengembangan sistem dan mekanisme internal perusahaan adalah accountability. Berdasarkan prinsip ini, pertama-tama masing-masing komponen perusahaan, seperti komisaris, direksi, internal auditor dituntut untuk mengerti hak, kewajiban, wewenang dan tanggung jawabnya. Hal tersebut penting sehingga masing-masing komponen mampu melaksanakan tugas secara professional.

Tujuan Penerapan Good Corporate Governance
Penerapan sistim GCG diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) melalui beberapa tujuan berikut:
1.       Meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kesinambungan suatu organisasi yang memberikan kontribusi kepada terciptanya kesejahteraan pemegang saham, pegawai dan stakeholders lainnya dan merupakan solusi yang elegan dalam menghadapi tantangan organisasi kedepan
2.       Meningkatkan legitimasi organisasi yang dikelola dengan terbuka, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan
3.       Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para share holders dan stakeholders.

Manfaat dan Faktor Penerapan GCG
Seberapa jauh perusahaan memperhatikan prinsip-prinsip dasar GCG telah semakin menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan investasi.  Terutama sekali hubungan antara praktik corporate governance dengan karakter investasi internasional saat ini.  Karakter investasi ini ditandai dengan terbukanya peluang bagi perusahaan mengakses dana melalui ‘pool of investors’ di seluruh dunia. Suatu perusahaan dan atau negara yang ingin menuai manfaat dari pasar modal global, dan jika kita ingin menarik modal jangka panjang yang, maka penerapan GCG secara konsisten dan efektif akan mendukung ke arah itu.  Bahkan jikapun perusahaan tidak bergantung pada sumber daya dan modal asing, penerapan prinsip dan praktik GCG akan dapat meningkatkan keyakinan investor domestik terhadap perusahaan.
Di samping hal-hal tersebut di atas, GCG juga dapat:
1.       Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya-biaya ini dapat berupa kerugian yang diderita perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan wewenang (wrong-doing), ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
2.       Mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dari pengelolaan perusahaan yang baik tadi menyebabkan tingkat bunga atas dana atau sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan.
3.       Meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra perusahaan tersebut kepada publik luas dalam jangka panjang.
4.       Menciptakan dukungan para stakeholder (para pihak yang berkepentingan) dalam lingkungan perusahaan tersebut terhadap keberadaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan, karena umumnya mereka mendapat jaminan bahwa mereka juga mendapat manfaat maksimal dari segala tindakan dan operasi perusahaan dalam menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan.

Sumber:
Miko Kamal, Undang Undang PT dan Harapan Implementasi GCG, www.alf.com, 2008
Sita Supomo, Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Prinsip GCG, Email:

fcgi_probis@yahoo.comfcgi_probis@yahoo.com , 2008